oleh Tim Redaksi NewsGapi
Lailatul Qadr atau yang dikenal dengan Malam Seribu Bulan, adalah malam yang dimuliakan Allah swt melebihi malam-malam lainnya. Keutamaan Lailatul Qadr yang hanya bisa ditemukan di bulan Ramadhan telah dijelaskan secara eksplisit melalui firman Allah SWT pada QS. AL-Qadr ayat 1-5. Pada Surah tersebut, Allah swt menerangkan keutamaan Lailatul Qadr sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam ketika Allah memperkenankan para Malaikat dan Al-Ruh untuk menyelesaikan segala urusan. Bahkan Lailatul Qadr juga dijanjikan Allah swt akan dipenuhi dengan kesejahteraan hingga terbitnya fajar.
Khusus di kalangan masyarakat Maluku Utara atau yang dikenal dengan sebutan ‘Jazirah Molokiyah’, ada tradisi tersendiri untuk menyambut Lailatul Qadr yang dikenal dengan Tradisi Ela ela yaitu tradisi menyalakan alat penerangan tradisional berupa obor, pancona ataupun poci di halaman rumah. Tradisi Ela ela ini dimulai dari malam ke 27 hingga malam 30 bulan Ramadhan. Salah satu alat penerangan tradisional yaitu obor terbuat dari bambu yang diisi minyak tanah dan memiliki sumbu kain di ujung bambu. Ada juga alat penerangan tradisional yang dibuat dari batang pohon pisang yang telah dipotong. Batang Pohon Pisang yang telah dipotong ini kemudian diatur berjejeran di tepi jalan dan diatasnya batang pohon tersebut ditaruh ‘Damar’ sebagai bahan bakar untuk menyalakan api. Selain itu dikenal juga alat penerangan tradisional yaitu Pancona yang berbahan bakar minyak kelapa. Pancona sering digunakan sebagai alat penerangan tradisional di Mesjid Sultan.
Selain menyalakan alat penerangan tradisional lainnya di halaman rumah, kalangan anak-anak hingga remaja juga gemar mengarak obor mengelilingi kampung. Mereka bergerombol dengan obor di tangan sambil menyerukan satu kalimat yaitu, “Ela ela pake jam jam to, Suba Jou”. Ada juga yang bermain bola api yang berasal dari kulit kelapa yang dibakar. Bola api yang menyala-nyala ini meskipun ditendang dengan kaki telanjang tapi tidak menimbulkan luka bakar. Tentunya permainan bola api ini dimainkan di tanah lapang. Jika dimainkan dekat pemukiman dikhawatirkan akan menyebabkan kebakaran.
Dari beberapa sumber menyebutkan, Tradisi Ela ela adalah tradisi klasik masyarakat di Jazirah Molokiyah yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Bahkan tradisi ini telah dikenal sebelum masa Kesultanan pada abad ke 16 masehi. Tradisi Ela ela telah dikenal sejak masa Momole yaitu periode sebelum kedatangan Sayyid Parsi Ja’far Noh di Sampalo disekitar awal abad ke 12 masehi. Tradisi menyalakan alat penerangan tradisional di setiap rumah dan tiap sudut perkampungan serta mengaraknya mengelilingi kampung telah menjadi tradisi pada masa-masa awal peradaban di Jazirah Molokiyah. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk perayaan untuk berbagai hal. Baik itu untuk merayakan kelahiran anak, mensyukuri hasil panen, merayakan kemenangan, maupun hal-hal lainnya yang mendatangkan kebahagian bagi masyarakat. Pada saat ada sesuatu yang dirayakan, mereka menyalakan alat penerangan tradisional untuk meluapkan kebahagiaan sambil menyerukan kalimat “Ela ela pake jam jam to, Suba Jou” yang memiliki arti “Kunyalakan semua ini sebagai bentuk rasa syukur kepadaMu, kubersujud padaMu”. Kalimat yang berisi ungkapan rasa syukur dan puji-pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang telah diberikan.
Dari pengertian kalimat “Ela ela pake jam jam to, suba jo” tersebut, dapat dipastikan bahwa masyarakat awal peradaban Jazirah Molokiyah telah mengenal Tuhan atau lebih tepatnya memiliki agama sebelum masuknya Agama Islam. Mereka mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan selalu memuja Tuhan di setiap hajat hidup mereka, salah satunya dengan tradisi “Ela ela”.
Dengan alasan inilah maka tradisi Ela ela tetap dipertahankan hingga periode masuknya Islam di Jazirah Molokiyah karena tidak ada pertentangan dengan ajaran agama. Menerangi setiap halaman rumah dan tiap sudut kampung atau dikenal dengan Tradisi Ela-ela pada malam Lailatul Qadr tentunya tidak ada larangan dalam Islam. Bahkan telah menjadi tradisi sebelum menyalakan alat penerangan tradisional Ela-ela, dibacakan Surah Al Qadr terlebih dahulu.
Sebagai warga Maluku Utara atau Jazirah Molokiyah, kita tentu memiliki kewajiban untuk turut menjaga dan melestarikan tradisi dan budaya leluhur yang tidak memiliki pertentangan dengan norma-norma agama. Sebab dengan tradisi dan budaya, kita bisa mengenal jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki tatanan kehidupan dan peradaban sejak dahulu. (*)
More Stories
Maluku Utara Dalam Bayang-Bayang Sustainable Development
Benteng Oranje, Pilihan Warga Ternate Untuk Ngabuburit Selama Ramadhan
Dahsyatnya Sedekah Subuh Oleh Nazwar